Pages

Jumat, 23 Desember 2011

BELAJAR DARI SETAN

Masih ingat dengan kisah Abu Hurairah radhiyallahu 'anh yangdiajari setan untuk membaca ayat kursi sebelum tidur? Jadi ceritanya begini, malam itu untuk ketiga kalinya maling pendusta itu tertangkap basah oleh Abu Hurairah ketika sedang mencuri makanan miliki kaum Muslimin. Lalu Abu Hurairah berkata :"Aku akan membawamu menghadap Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam. Ini adalah ketiga kalinya kamu datang lagi mencuri makanan.

 
 

Padahal kamu sudah berjanji tidak akan kembali lagi. Eh...kamu malah balik lagi."

 
 

Lalu si pencuri berkata : "Lepaskanlah aku. Nanti kamu akan aku ajari beberapa kalimat yang Allah memberikan manfaat pada kalimat-kalimat itu."

 
 

"Kalimat apakah itu?", tanya Abu Hurairah.

 
 

"Jika dirimu hendak tidur, bacalah ayat kursi. Karena Allah akan menjagamu sampai kamu bangun, dan setan tidak akan berani mendekatimu," jawab si pencuri.

 
 

Dan akhirnya Abu Hurairah pun membebaskan pencuri tersebut. Keesokan harinya, Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepada Abu Hurairah tentang tawanannya semalam. Abu Hurairah pun menjawab :"Wahai Rasulullah, pencuri itu telah mengajariku beberapa kalimat yang bermanfaat bagiku. Maka aku bebaskan dia."

 
 

Rasulullah shalallahu 'alahi wa sallam bertanya : "Kalimat apakah itu?"

 
 

"Dia berkata kepadaku agar aku membaca ayat kursi sebelum tidur. Dan apabila aku membacanya, maka Allah akan menjagaku sampai subuh dan setan tidak akan mendekatiku", jawab Abu Hurairah.

 
 

"Ya Aba Hurairah...ketahuilah sesungguhnya pencuri itu telah berkata jujur kepadamu padahal sebenarnya dia adalah pendusta. Tahukah kamu siapa pencuri yang kau ajak bicara selama tiga malam ini Ya Aba Hurairah?"

 
 

"Tidak", jawab Abu Hurairah. Rasulullah pun menjawab : "Dia adalah setan." (HR. Bukhari)

 
 

Kisah ini memberitahu kita bagaimana setan mengetahui fadhillah ayat kursi. Padahal itu sama sekali tidak ada gunanya bagi dirinya. Malah Abu Hurairah lah yang bisa memanfaatkan apa yang diajarkan setan. Itulah setan, dia mengetahui apa yang bermanfaat bagi orang lain, tapi tidak bermanfaat bagi dirinya sendiri. Begitu juga dengan manusia. Terkadang manusia mengetahui hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya, namun tidak mengamalkannya. Banyak orang yang selalu menyeru kepada kebajikan dan beramal sholeh namun dirinya sendiri tidak melakukannya. Lantas apa bedanya manusia dengan setan? Kisah ini bisa dijadikan tadzkirah untuk para da'i. Akhir-akhir ini banyak da'i yang mengajak jamaahnya untuk sholat tahajud, namun da'i tersebut jarang sholat tahajud.

 
 

Ada lagi orang yang mengajak untuk berzakat namun dia sendiri tidak pernah berzakat. Walau begitu, tidak ada salahnya kita mengambil ucapan mereka, meskipun orang-orang tersebut hanya pandai berbicara. Selama itu tidak melenceng dari Al-Qur'an dan As-Sunnah, sebagaimana perkataan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu'anh : "Unzhur mâ qôla, walâ tanzhur man qôla". Lihatlah apa yang dikatakan dan jangan melihat siapa yang mengatakan. Sekalipun yang mengatakan adalah orang gila, apabila yang dikatakan baik dan bermanfaat, tidak ada salahnya didengar dan diamalkan.

 
 

Masih ada lagi pelajaran yang bisa diambil dari setan. Kali ini adalah kisah setan yang menolong Abdullah ibnu Ummi Maktum radhiyallahu 'anha, seorang sahabat yang taat beribadah walaupun buta. Suatu hari Ibnu Ummi Maktum mengikuti kajian Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam. Dalam kajian tersebut Rasulullah menyampaikan tentang kewajiban setiap Muslim yang mendengar azan untuk segera menunaikan shalat berjamaah di masjid. Lalu Ibnu Ummi Maktum bertanya : "Wahai Rasulullah, apakah saya diwajibkan shalat berjamaah di masjid juga walaupun saya tidak dapat melihat?"

 
 

Rasulullah shalallahu 'alahi wa sallam menjawab : "Apakah kamu mendengar suara azan?"

 
 

"Ya...saya mendengarnya", jawab Ibnu Ummi Maktum.

 
 

Rasulullah pun tetap memerintahkannya untuk pergi ke masjid sambil merangkak sekalipun. Dengan penuh keimanan, Ibnu Ummi Maktum pun segera pergi ke masjid ketika azan berkumandang dan shalat berjamaah dengan Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam. Suatu shubuh Ibnu Ummi Maktum hendak pergi ke masjid. Di tengah perjalanan kakinya terantuk batu hingga berdarah. Karena keimanan dan ketaatannya kepada Allah, beliau tetap pergi ke masjid untuk shalat berjamaah.

 
 

Di waktu shubuh keesokan harinya, Ibnu Ummi Maktum kembali terjatuh. Namun, beliau beruntung karena ada seorang pemuda yang menolongnya dan menuntunnya hingga ke masjid. Keesokan harinya pun demikian, pemuda tersebut kembali menolong Abdullah Ibnu Ummi Maktum. Begitu terus selama berhari-hari, sang pemuda ini selalu mengantarnya ke masjid. Abdullah Ibnu Ummi Maktum pun merasa penasaran dan ingin membalas jasanya. Akhirnya beliau bertanya kepada pemuda tersebut : "Wahai saudaraku, siapakah namamu? Izinkan aku mengetahuinya supaya aku bisa mendo'akanmu kepada Allah."

 
 

Si pemuda pun menjawab : "Apa untungnya bagi Anda apabila aku memberi tahu namaku. Dan Anda tidak perlu mendoakanku.""Kalau begitu janganlah kamu membantu aku lagi ketika aku terjatuh. Aku tidak mau ditolong lagi olehmu karena dirimu tidak mau aku do'akan", ujar Ibnu Ummi Maktum kepada sang pemuda.

 
 

Sang pemuda pun akhirnya memperkenalkan dirinya. "Wahai Ibnu Ummi Maktum, ketahuilah bahwa sesungguhnya aku adalah setan.""Lantas mengapa kamu menolongku ketika aku terjatuh dan selalu mengantarku ke masjid. Bukankah seharusnya kamu menghalangiku pergi ke masjid?", tanya Ibnu Ummi Maktum.

 
 

Sang pemuda yang tidak lain adalah setan itu menjawab : "Wahai Ibnu Ummi Maktum, masih ingatkah ketika engkau terjatuh beberapa hari lalu dalam perjalan ke masjid? Aku tidak ingin itu terulang lagi. Sebab jika kau terjatuh, maka Allah mengampuni separuh dosamu. Aku takut kalau kau terjatuh lagi, Allah akan menghapus dosamu yang separuh lagi hingga seluruh dosamu terhapus. Maka sia-sialah kami –para setan- menggodamu selama ini.

 
 

Kisah Ibnu Ummi Maktum mengajarkan kita bahwa setan sangatlah licik. Mereka tidak rela apabila kita cucu Adam dekat dengan ampunan Allah. Dia menolong Ibnu Ummi Maktum bukan karena keikhlasan, melainkan takut dosa Ibnu Ummi Maktum terhapus semua.

 
 

Nah, saat ini banyak sekali orang yang tertulari sifat setan yang satu ini. Contohnya banyak orang yang mempelajari Islam tapi bukan untuk memperjuangkan Islam, melainkan untuk menghancurkan Islam. Ada juga yang menyelipkan pikiran-pikiran nyeleneh dengan mengutip dalil-dalil dari Al-Qur'an, As-Sunnah, ataupun qoul ulama dengan tafsir yang melenceng. Bisanya yang begini ini para aktivis Islam Liberal. Mereka asal mencomot dalil untuk membuat hukum atau hujjah tanpa mengetahui hakikat dalil tersebut untuk masalah apa. Maksudnya sih ingin memperbarui dan memodernisasi hukum Islam. Tapi malah jadinya menghancurkan Islam.

 
 

Dua kisah di atas mengajarkan kita bagaimana sebenarnya sifat setan. Setan mengajarkan hal-hal yang tidak ber-atsar kepada dirinya sendiri. Dia mengajari Abu Hurairah namun dirinya tidak melakukannya. Dia juga menolong Ibnu Ummi Maktum dengan tujuan supaya Ibnu Ummi Maktum tidak terhapus semua dosanya. Setan punya berjuta cara menggagalkan kita dalam melakukan suatu kebaikan.

Wallahu a'lam bishowab

Selengkapnya...

bisa allahhuakbar!!!


 

Allah berfirman dalam Al-Qur'an surat Al-Qomar yang artinya:"Dan sesungguhnya telah kami mudahkan Al-Qur'an untuk pelajaran, maka adakah orang  yang mengambil pelajaran?" Allah telah mengulang ayat ini dalam surat yang sama sebanyak empat kali, yakni ayat ke 17, 22, 32, dan 40. Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa Allah telah memudahkan al-Qur'an untuk dibaca, dihafal dan dipelajari maknanya sebagaimana yang telah di sebutkan oleh Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya.

 
 

 Dalam ayat yang lain Allah juga telah berfirman yang artinya: "Maka sesungguhnya telah kami mudahkan Al-Qur'an itu dengan bahasamu, agar kamu dapat memberi kabar gembira dengan Al-Qur'an itu kepada orang-orang yang bertakwa". (Maryam: 97).

 
 

Namun dalam kenyataannya, tidak jarang kita mendapatkan sebagian dari kita mengalami kesulitan dalam menghafal Al-Qur'an, Pagi hari menghafal, sore harinya tidak jarang yang sudah lupa, begitu dan seterusnya. Maka setiap kita yang mengalami hal yang demikian harus senantiasa instropeksi diri (muhasabah). Sebab kalau kita perhatikan dengan seksama dan dengan penuh kejujuran dan kesadaran terhadap diri kita, maka akan kita dapatkan bahwa sulitnya kita dalam menghafal Al-Qur'an tidak akan terlepas minimal dari dua sebab berikut:

 
 

Kita belum mencurahkan seluruh potensi kita?.

 
 

Inilah pertanyaan pertama yang mesti kita jawab. Mari kita merenung sejenak, betapa banyak waktu yang sebenarnya masih kita sia-siakan tanpa aktifitas yang bermanfaat. Kita belum merealisasikan firman Allah dalam surat asy-syarh ayat 7 yang artinya:"Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain)."dan juga sebagaimana yang dikatakan oleh pepatah arab "Barang siapa yang bersungguh-sungguh pasti dapat"

 
 

Maka kita harus bakhil dan penuh perhitungan terhadap waktu, jangan sampai waktu kita lewatkan begitu saja tanpa berinteraksi dengan Al-Qur'an. Dan kita harus senantiasa menyadari bahwa semudah apa pun suatu pekerjaan -termasuk dalam hal ini menghafal Al-Qur'an- kalau tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh maka hasilnya pun tidak akan maksimal.

 
 

Maka solusi dari permasalahan yang pertama ini, tandzimul auqoot (manajemen waktu) menjadi suatu keharusan. karena pada hakikatnya menghafal Al-Qur'an tidak hanya bermodalkan kecerdasan otak semata, Tetapi yang lebih penting dari itu adalah pandainya seseorang dalam mengatur waktunya dan istiqomah.

 
 

Bagaimana kita saksikan Imam Syafi'i yang dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa beliau melaksanakan sholat subuh dengan memakai wudhu sholat isya'. Ini menunjukkan bahwa beliau tidak tidur semalaman untuk menelaah ilmu. Lalu bagaimana dengan kita…..???? apakah kemudian pantas kita bersantai-santai, banyak bersenda gurau, banyak tidur, tapi ingin mendapatkan ilmu sebagaimana yang didapatkan oleh imam Syafi'I ???

 
 

Pengaruh dosa dan maksiat

 
 

Di antara dampak dosa dan maksiat yaitu terhalangnya ilmu syar'I- termasuk di dalamnya Al-Qur'an- dari diri kita. Padahal ilmu syar'ilah yang akan menghantarkan kita ke dalam golongan orang-orang yang bertakwa serta jalan yang paling cepat dan mudah untuk sampai kepada Allah. Sebagaimana perkataan Ibnu Rajab ketika menjelaskan hadist "barang siapa menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga" dia berkata: "ilmu itu menunjukkan jalan menuju kepada Allah dan merupakan salah satu jalan paling dekat dan paling mudah. Maka barang siapa menggunakan ilmu dan tidak menyimpang darinya, niscaya akan sampai kepada Allah dan surga melalui jalan paling dekat dan mudah".

 
 

Salah seorang salaf berkata:" Bagaimana seseorang akan bertakwa, jika ia tidak mengerti apa yang harus dijauhi?"

Ibnu Rajab juga berkata: "pangkal takwa adalah: hendaknya hamba mengetahui apa yang harus dijauhinya, kemudian menjauhinya".

 
 

Beliau juga berkata: "barang siapa menempuh suatu jalan yang dikiranya jalan menuju surga, tanpa mempunyai ilmu, maka benar-benar telah menempuh jalan yang sangat sukar dan berat, meski demikian tidak akan menyampaikannya kepada tujuan".

 
 

Maka kepada para penghafal Al-Qur'an hendaknya ia bermujahadah dalam meninggalkan dan menjauhi kemaksiatan, sebab dosa dan kemaksiatan adalah faktor utama terhalangnya ilmu syar'I (Al- Qur'an) dari hati kita. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Malik.

 
 

Ketika Imam Syafi'i duduk di hadapan Imam Malik dan membacakan kitab Muwatho', maka Imam Malik terheran-heran terhadap cahaya dan sinar kecerdasan dan kesempurnaan pemahaman Imam Syafi'i, maka Imam Malik berkata: "Sesungguhnya aku melihat bahwa Allah telah menanamkan cahaya dalam hatimu maka janganlah kamu padamkan cahaya itu dengan gelapnya kemaksiatan".

 
 

Dan sungguh para salafussholih mengetahui bahwa meninggalkan maksiat adalah prinsip utama yang harus dimiliki untuk mendapatkan ilmu. Bisyr bin Harits berkata: "jika engkau ingin mendapatkan ilmu maka janganlah bermaksiat".

 
 

Al-Qosim bin Abdurrahman berkata:" Abdullah berkata; saya kira orang yang lupa akan ilmunya itu disebabkan kesalahan yang ia kerjakan".

 
 

Dan di antara dampak positif kemaksiatan terhadap ilmu adalah apa yang diriwayatkan bahwa Imam Syafi'i Rahimahullahu, dan beliau adalah orang yang terkenal dengan kecerdasan otaknya serta cepatnya dalam menghafal. Baliau mengadu kepada gurunya, Waqi', bahwa suatu hari beliau mengalami kekacauan dalam menghafal. Maka gurunya menunjukkan obatnya, yaitu meninggalkan maksiat, dan mengosongkan hati dari hal-hal yang dapat menjauhkannya dari Allah. Sebagaimana perkataan beliau yang sangat terkenal; aku mengadu kepada Waqi' terhadap kacaunya hafalanku, maka beliau menasihatiku agar meninggalkan kemaksiatan. Dan ia memberitahuku bahwasanya ilmu itu cahaya, dan cahaya Allah itu tidak akan diberikan kepada ahli maksiat.

 
 

Memang manusia tidak akan ada yang terlepas dari dosa sama sekali. Setiap manusia pasti pernah terjatuh di dalam perbuatan dosa, akan tetapi bagi kita para penghafal Al-Qur'an dan para penuntut ilmu syar'i senantiasa berusaha menjauhi kemaksiatan baik yang kecil apalagi yang besar, serta senantiasa memperbanyak istighfar. Sebagaimana sabda Rasulullaah sholallahu `alaihi wa salam yang artinya "setiap anak keturunan adam pasti berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang-orang yang senantiasa bertaubat".

Ibunda Aisyah rodhiyallahu 'anha juga berkata: "maka beruntunglah orang-orang yang nanti di akhirat mendapatkan shohifah (lembaran catatan amal)nya penuh dengan istighfar"

 
 

Mudah-mudahan Allah senantiasa membimbing lisan kita untuk senantiasa basah dengan banyaknya istighfar kepada Allah subhaanahu wa ta'ala, amiin yaa mujibas saailin.....

 
 

Itulah dua hal minimal yang semestinya senantiasa menjadi perhatian para penghafal Al-Qur'an, senantiasa memanfaatkan waktunya untuk hal-hal yang bernilai ibadah di sisi Allah. Dan seharusnya setiap muslim apalagi para pembawa bendera islam (Al-Qur'an) menjadikan hadits:

 
 

من حسن إسلام المرء تركه مالا يعنيه

 
 

Sebagai mizan di dalam beramal, sehingga setiap hendak melakukan sesuatu amal dia senantiasa melihat dan menimbang dengan hadits tersebut, apakah ada manfaat dunia atau akhiratnya. Kalau ada manfaat baik dunia atau pun akhirat maka dia kerjakan namun jika tidak ada manfaat dunia apalagi akhirat dia tinggalkan. Dan juga senantiasa bertaubat dan beristighfar kepada Allah subhaanahu wa ta'alaa……..

 
 

Mudah-mudahan Allah senantiasa membimbing kita untuk tetap hidup bersama Al-Qur'an sampai akhir hayat kita amiiiiin ya rabbal 'alamiin 

 
 

Oleh : Abu Idris Al-Awwab


 

Selengkapnya...